Hai teman pada pertemuan kali ini saya akan membagikan makalah yang berkenaan dengan perkembangan ekonomi islam pada masa pertengahan islam, walaupun sudah bayak yang membahas tentang ini tapi postingan saya kali ini akan lebih mendalam tentang perkembangan islam pada masa pertenghahan islam..............................!
Selamat Membaca......!!!
Pembahasan
Kebijakan Fiskal dan Moneter Pada Pertengahan Islam
Kebijakan
moneter adalah upaya mengendalikan atau mengarahkan perekonomian makro ke
kondisi yang diinginkan dengan mengatur jumlah uang yang beredar. Yang dimaksud
dengan kondisi lebih baik adalah meningkatnya output keseimbangan dan atau
terpeliharanya stabilitas harga. Melalui kebijakan moneter, pemerintah dapat
mempertahankan kemampuan ekonomi untuk tumbuh, sekaligus mengendalikan inflasi.
Jika yang dilakukan adalah menambah uang beredar, maka pemerintah dikatakan
menempuh kebijakan moneter ekspansif. Sebaliknya jika jumlah uang berdar
dikurangi, pemerintah menempuh kebijakan moneter kontraktif sedangkan,
Kebijakan fiskal adalah kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pengaturan
kinerja ekonomi melalui mekanisme penerimaan dan pengeluaran pemerintah.
Kebijakan fiskal terwujud dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).
Dalam dokumen APBN, kita dapat melihat berapa pendapatan pemerntah, dari mana
saja pendapatan tersebut, komposisi pendapatan, penduduk mana atau siapa yang
terkena beban tinggi dan beban rendah dari total pendapatan pemerintah, untuk
apa saja pendapatan pemerintah, sektor mana yang mendapat alokasi pengeluaran
tinggi dan mana yang rendah, dan sebagainya.
A. Kebijakan Fiskal dan Moneter Masa
Daulah Umawiyah
a) Khalifah
Muawiyah bin Abi Sofyan (41-60 H/661-779 M)
Muawiyah bin Sofyan adalah
pendiri Daulah Umawiyah. Kareir politiknya bermula ketika ia menjabat sebagai
gubernur Syam pada masa Umar bin Khatab dan belanjut di beberapa daerah yang
dimenangkannya pada masa Usman bin Affan, seperti Romawi dan Siprus.[1]
Sistem pemerintahannya bersifat monarki. Muawiyah menjadikan Damaskus sebagai
pusat pemerintahan, dan Baghdad sebagai pusat kegiatan keagamaan. Pembagian ini
didasarkan sistem pemerintahannya yang memisahkan antara pemegang otoritas
keagamaan dan otoritas pemerintahan. Sepanjang perjalanan kekuasaannya, wilayah
islam telah berkembang ke lawasan Timur (Negeri Asia Tengah dan Sindh) dan
Barat (Turki, Romawi dan Afrika).
·
Kebijakan moneter Muawiyah
bin Sofyan adalah mencetak mata uang, sedangkan kebijakan.
·
fiskal mendirikan dinas pos
beserta fasilitasnya, membentuk angkatan perang, membentuk dewan kehakiman yang
diketuai seorang Qadhi (hakim)[2]
b) Khalifah Abdul
Malik ibn Marwan (66-86 H/685-705 M)
Abdul Malik
bin Marwan yang mempunyai nama lengkap Abdul Malik bin Marwan bin Al-Hakam bin
Abul `Ash Umayyah bin Abdul Syam bin Abdul Manaf. Ibunya adalah Aisyah binti
Mu`awiyah bin al-Mughirah bin Abul `Ash. Abdul Malik bin Marwan memulai karir
politiknya sebagai gubernur kota Madinah pada masa Muawiyyah.
Abdul Malik
bin Marwan didalam usia 39 tahun ditunjuk dan diangkat menjabat Khalif yang ke
lima dari daulat Umayyah pada tahun 65 H/685, menggantikan bapaknya Khalif
Marwan I, lalu memegang tampuk kekuasaan pemerintahan itu selama 21 tahun
sampai 86 H/705 M.
·
Kebijakan
moneter mencetak uang dengan lafaz Bismillahirahmanirrahiim, menyebarkannya
keseluruh wilayah islam dan melarang penggunaan mata uang lain. Sedangkan
kebijakan.
·
fiskal
Khalifah Abdul Malik bin Marwan mendirikan pabrik percetakan uang di Damaskus,
mengembangkan sistem pos yang telah dibangun pada masa Muawiah bin Abu Sufyan.
Pembaharuan
Dalam Bidang Perbajakan di mana umat Islam hanya berkewajibkan membayar zakat
dan bebas dari pajak lainnya. Kebijakan ini menjadi bumerang pada
pemerintahannya, karena mendorong orang non-muslim memeluk agama Islam.
Sehingga mereka terbebas dari pembayaran pajak. Akibatnya sumber pendapatan
negara dari sektor pajak berkurang, pada sisi lain anggaran militer bertambah
seirirng bertambahnya anggota militer dari kelompok Mawali.
c) Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/717-719 M)
Umar bin Abdul
Aziz bin Marwan bin Al-Hakam bin Abu Al-Ash bin Umayyah bin Abd Syams bin
Manaf. Ibunya Ummu Ashim, Laila binti Ashim bin Umar bin Khattab. Karier politiknya dimulai
sebagai gebernur Madinah pada masa Khalifah Walid bin Abdul Malik memerintah. Ketika
itu usianya lebih kurang 28 tahun. Pada zaman Sulaiman bin Abdul Malik
memerintah, beliau dilantik menjadi menteri kanan dan penasihat utama khalifah.
Pada masa itu usianya 33 tahun. Umar bin Abdul Aziz dibaiat menjadi
khalifah setelah wafatnya Sulaiman bin Abdul Malik.
Umar bin Abdul
Aziz dikenal sebagai khulafur rasyidin yang ke lima. Penobatan tersebut
berdasarkan pemerintahannya memiliki cici-ciri yang sama dengan empat khalifah.
Ia menerapkan sistem keadilan dimulai dari dirinya sendiri dan keluarganya
dengan menyerahkan harta kekayaan pribadi dan keluarganya ke baitul mal. Umar
melakukan pembenahan disegala bidang dan di seluruh wilayah kekuasaannya
berdasarkan syariat islam. Pembangunan bukan saja pada bidang infrastruktur
tetapi juga pembangunan sumber daya manusianya. Dalam kurun waktu kurang tiga
tahun, masyarakat islam berada dalam surga dunia, kemakmuran dan kesejahteraan
merata di seluruh wilayah, terbukti tidak ada lagi yang mau menerima zakat.[3]
·
Kebijakan
fiskal Umar bin Abdul Aziz adalah mereformasi sumber pendapatan negara melalui
pajak tanah (kharaj), pajak non muslim (jizyah) pada tiga profesi yaitu;
petani, tuan tanah dan pedagang. Petani muslim dikenakan pajak 10% dari hasil
pertanian. Sumber pendapatan lainnya adalah zakat yang diwajibkan bagi semua
umat islam yang mampu di mana setiap wilayah memiliki otonomi daerah dalam
mengelolanya. Pengeluaran negara meliputi belanja pegawai, belanja
peralatan administrasi negara, pendidikan dan distribusi zakat, serta memberi
jaminan sosial kepada seluruh masyarakat. Penghematan anggaran dalam
pemberian fasilitas pejabat negara dan juga penghematan dalam perayaan
peringatan hari besar keagamaan dan kenegaraan.[4]
Keseimbangan
fiskal dan moneter pada masa Umar inilah yang berpengaruh pada stabilitas nilai
mata uang yang dampaknya harga-harga komoditas ikut stabil. Telah diakui secara
umum bahwa stabilitas harga membantu merealisasikan tujuan pemenuhan kebutuhan
pokok, disribusi pendapatan dan kekayaan yang adil, laju pertumbuhan ekonomi
yang optimum, kesempatan kerja penuh, dan stabilitas ekonomi.[5]
·
Kebijakan moneter yang diterapkan oleh Umar bin Abdul
Aziz adalah Ia mengurangi beban
pajak yang dipungut dari kaum Nasrani, pajak yang dikenakan kepada non muslim
hanya berlaku pada tiga profesi, yaitu pedagang, petani, dan tuan tanah.
Menghapus pajak terhadap kaum muslim, membuat aturan takaran dan timbangan,
membasmi cukai dan kerja paksa, memperbaiki tanah pertanian, penggalian
sumur-sumur, pembangunan jalan-jalan, pembuatan tempat-tempatan penginapan para
musafir, dan menyantuni fakir miskin. Berbagai kebijakan ini berhasil
meningkatkan taraf hidup masyarakat secara keseluruhan hingga tidak ada lagi
yang mau menerima zakat.
Di sini jelas
terlihat hubungan fiskal-moneter yang harmonis dan saling mempengaruhi satu
sama lain. Dan kebijakan lainnya yang telah diterapkan oleh Umar bin Abdul Aziz
yang berhubungan dengan moneter dan fikal adalah sebagai berikut.
1. Ketika
diangkat menjadi Khalifah, mengumpulkan rakyat dan mengumumkan serta
menyerahkan seluruh harta kekayaan pribadi dan keluarganya yang diperoleh
secara tidak wajar kepada baitul maal, seperti; tanah-tanah perkebunan di Maroko, berbagai tunjangan yang di Yamamah, Mukaedes, Jabal Al Wars,Yaman
dan Fadak, hingga cincin berlian pemberian Al Walid.
2. Selama
berkuasa beliau juga tidak mengambil sesuatupun dari baitulmaal, termasuk
pendapatan Fai yang telah menjadi haknya.
3. Memprioritaskan
pembangunan dalam negeri. Menurutnya,memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan
negeri-negeri Islamadalah lebih baik daripada menambah perluasan wilayah. Dalam
rangkaini pula, ia menjaga hubungan baik dengan pihak oposisi danmemberikan hak
kebebasan beribadah kepada penganut agama lain.
4. Dalam
melakukan berbagai kebijakannya, Khalifah Umar bin AbdulAziz lebih bersifat
melindungi dan meningkatkan taraf hidupmasyarakat secara keseluruhan.
5. Menghapus
pajak terhadap kaum muslimin, mengurangi beban pajakkaum Nasrani, membuat
aturan takaran dan timbangan, membasmicukai dan kerja paksa,
6. Memperbaiki
tanah pertanian, menggali sumur-sumur, pembangunan jalan-
jalan, pembuatan tempat-tempat penginapan musafir, danmenyantuni
fakir miskin. Berbagai kebijakan ini berhasil meningkatkantaraf hidup
masyarakat secara keseluruhan hingga tidak ada lagi yangmau menerima zakat.
7. Menetapkan
gaji pejabat sebesar 300 dinar dan dilarang pejabat tersebutmelakukan kerja
sampingan. Selain itu pajak yang dikenakan kepadanon-muslim hanya berlaku
kepada tiga profesi, yaitu pedagang, petani,dan tuan tanah.
8. Dalam
bidang pertanian Khalifah Umar bin Abdul Aziz melarang penjualan tanah garapan
agar tidak ada penguasaan lahan. Ia memerintahkan amirnya untuk memanfaatka
semaksimal munkin lahan yang ada. Dalam menetapkan sewa tanah, khalifah
menerapkan persedian keadilandan keurahan hati. Ia melarang memungut sewa
terhadap tanah yang tidak subur, pengambilan sewa harus memperhatikan tingkat
kesejahteraan petani yang bersangkutan.
9. Menerapkan
kebijakan otonomi daerah. Setiap wilayah Islammempunyai wewenang untuk
mengelola zakat dan pajak secara sendiri-sendiri dan tidak mengharuskan
menyerahkan upeti kepadapemerintah Bahkan sebaliknya pemerintah pusat akan memberikan bantuansubsidikepada
wilayah Islam yang pendapatan zakat dan pajaknya tidakmemadai. Dan juga memberlakukan
sistim subsidi antar wilayah, dariyang surplus ke yang pendapatannya kurang.
10.Dalam
menerapkan Negara yang adil dan makmur, Khalifah Umar binAbdul Aziz menjadikan
jaminan social sebagai landasan pokok.Khalifah juga membuka jalur perdagangan bebas,
baik didarat maupundilaut, sebagai upaya peningkatan taraf kehidupan
masyarakat.Pemerintah menghapus bea masuk dan menyediakan berbagai
bahankebutuhan sebanyak mungkin dengan harga yang terjangkau.
11.pada masa
pemerintahannya sumber-sumber pemasukannya Negara berasal dari zakat, harta
rampasan perang, papjak pengasilan pertanian, dan hasil pemberian lapangan
kerjaproduktif pada masyarakat luas.
Untuk menjaga
stabilitas nilai mata uang, dinar dan dirham dikeluarkan oleh otoritas yang
berkuasa. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menghukum orang yang mengeluarkan koin
tanpa izin negara.[6]
Dan semua kebijakan yang dilakukan oleh Khalifah Umar
binAbdul Aziz adalah semata-mata haya untuk memsejahterakan masyarakat islam
dan untuk melanjutkan peranan khalifah yang telah berjuan dalam bidang ekonomi
untuk kemaslahatan umat islam yang sempurna.
B. Kebijakan Fiskal dan Moneter Masa
Daulah Abbasiyah
1.) Khalifah
Abu Ja’far Al-Mansur (137-158 H/753-744 M)
Abu Ja'far Al-Manshur menjabat khalifah kedua Bani
Abbasiyah menggantikan saudaranya Abdul Abbas As-Saffah. Abu Ja'far Al-Manshur
adalah putra Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib.
Khalifah Abu Ja'far Al-Manshur membangun kota Baghdad menjadi pusat
pemerintahan dan meletakkan dasar-dasar ekonomi dan keuangan negara dengan baik
dan terkendali. Oleh sebab itu, tidak pernah terjadi defisit anggaran
besar-besaran. Kas negara selalu penuh, uang yang masuk lebih banyak daripada
uang keluar.[7] Jalur-jalur
administrasi pemerintahan, mulai dari pusat hingga ke daerah ditata dengan rapi
sehingga sistem dan roda pemerintahan berjalan dengan baik. Kebijakannya ini
menimbulkan dampak yang positif di kalangan para pejabat pemerintahan, karena
terjadi koordinasi dan kerja sama yang baik di antara mereka. Koordinasi dan
kerja sama itu terjadi antara Kepala Qadhi (Jaksa Agung),
Kepala Polisi Rahasia, Kepala Jawatan Pajak, dan Kepala Jawatan Pos. Hal itu
dilakukan untuk melindungi masyarakat dari berbagai tindakan yang tidak adil
dengan memberikan hak-hak masyarakat.
·
Kebijakan fiskal menetapkan
intervensi harga pada saat terjadi kenaikan harga yang tidak wajar. Sumber
pendapatan berasal dari zakat, kharaj, jizyah. Pengeluaran negara meliputi
biayaadministrasi pemerintahan, gaji pegawai negara, memperkokoh angakatan militer.
·
Kebijakan moneter
melanjutkan pendahulunya Al-Saffah yaitu mencetak dinar dengan mengikuti model
dinar Umaiyah dan tidak mengubah sedikitpun kecuali pada ukiran-ukiran dan
ukuran dirhamnya berkurang.
Pada awal pemerintah beliau,
perbendaharaan negara dapat dikatakan tidak ada karena khalifah sebelumnya,
al-saffah, banyak menggunkan dana baitul maal untuk diberikan kepada para
sahabat dan tentara. Hal tersebut mendorong khalifah al-manshur untuk bersiap
keras dalam peneguhan kedudukan keuangan negara. Di samping penumpasan
musuh-musuh khalifah, sehingga masa pemerintahannya ini juga dikenal sebagai
masa yang penuh dengan kekerasan.
Dalam mengendalikan harga-harga, khalifah Al-Manshur
memerintahkan para kepada jawatan pos untuk melaporkan harga pasaran dari
setiap bahan makanan dan barang lainnya. Jika mengalami kenaikan yang luar
biasa, ia memerintahkan para walinya agar menurunkan harga-harga ke tingkat
semula. di samping itu, khalifah al-manshur sangat hemat dalam membelanjakan
harta baitul maal. Ketika ia meninggal, kekayaan kas negara telah mencapai 810
juta dirham.
Tentang bagaiamana
kecakapan rasyid memasukan uang ke dalam kas negara ( bait al-maal), pernah
diberitakan orang, bahwa apabila sedang tidur terlentang memandang awan lalu di
angkasa raya, lantas beliau berkata :’’oh awan, engkau boleh melayang
kemana saja, pajakmu pasti akan datang kepada ku!’’.
Sebabnya maka kas negara
demikian kaya nya pada permulaan Daulah Abbasiyyah. Yaitu karena para khalifah
betul-betul memandang soal ekonomi dan keuangan negara sangat penting, sehingga
dengan demikian pembangunan dalam segala cabang ekonomi dia pandang soal yang
paling penting.
Baik khalifah manshur atau
khalifah-khalifah sesudahnya telah membangun ekonomi negara dengan berhasil
sekali, baik dalam bidang pertanian, perindustrian ataupun dalam bidang
perdagangangan.
2.)
Khalifah Muhammad al-Mahdi bin Abdullah bin Muhammad (158-169 H/774-785 M)
Pada masa pemerintahan khalifah Al-Mahdi, perekonomian
negara mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian melalui irigasi
dan peningkatan hasil pertambangan, seperti emas, perak, tembaga, dan besi. Di
samping itu, jalur transit perdagangan antara Timur dan Barat juga banyak
menghasilkan kekayaan. Dalam hal ini, Bashrah menjadi pelabuhan yang penting.
Dengan demikian, sektor-sektor perekonomian yang menunjang kemakmuran Daulah
Abbasiyah adalah pertanian, pertambangan, dan perdagangan.
Untuk meningkatkan sektor pertanian, pemerintah
mengeluarkan berbagai kebijakan yang menbela hak-hak kaum tani, seperti
peringanan beban pajak, pemerintah membuat sumur-sumur, membangun tempat
peristirahatan para kafilah hasil bumi, penjaminan hak milik dan keselamatan
jiwa, perluasan lahan pertanian di setiap daerah, dan pembangunan berbagai
bendungan dan kanal. Sementara untuk meningkatkan sektor perdagangan dagang,
dan mendirikan berbagai armada dagang serta menjaga keamanan pelabuhan dan
pantai.
3.)
Khalifah Harun al-Rasyid (170-193 H/786-808 M)
Ketika pemerintahan dikuasai Khalifah Harun Al-Rasyid,
pertumbuhan ekonomi berkembang dengan pesat dan kemakmuran Daulah Abbasiyah
mencapai puncaknya. Pada masa pemerintahannya, khalifah melakukan diversifikasi
sumber pendapatan negara. Ia membangun baitul mal untuk mengurus keuangan
negara dengan menunjuk seorang wazir yang mengepalai beberapa Diwan, yaitu:
1. Diwan
al-khazanah: bertugas mengurus seluruh perbendaharaan Negara.
2. Diwan
al azra: bertugas mengurus kekayaan negara yang berupa hasil bumi.
3. Diwan
khazain as-siaah: berugas mengurus perlengkapan angkatan perang.
Sumber pendapatan pada masa pemerintahan ini adalah
kharaj, jizyah, zakat, fa’i, ghanimah, usyr, dan harta lainnya seperti wakaf,
sedekah, dan harta warisan yang tidak mempunyai ahli waris.
Seluruh pendapatan negara terasebut dimasukkan ke dalam
baitul mal dan dikeluarkan berdasarkan kebutuhan. Pemerintahan khalifah Harun
Al-Rasyid juga sangat memperhatikan masalah perpajakan. Ia menunjuk Qadi Abu
Yusuf untuk menyusun sebuah kitab pedoman mengenai keuangan negara secara
syariah. Untuk itu, Imam Abu Yusuf menyusun sebuah kitab yang diberi judul
Kitab al-Kharaj Dalam pemungutan al-Kharaj, para Khalifah Abbasiyah
melakukan dengan tiga cara, yaitu:
1.Al-Muhasabah atau
penaksiran luas areal tanah dan jumlah pajak yang harus dibayar dalam bentuk uang.
2. Al-Muqasamah atau penetapan
jumlah tertentu (persentase) dari hasil yang diperoleh.
3. Al-Maqhatha’ah atau
penetapan pajak hasil bumi terhadap para jutawan berdasarkan persetujuan antara
pemerintah dengan yang bersangkutan.
Pendapatan
Negara dikeluarkan berdasarkan kebutuhan dan dialokasikan untuk riset ilmiah
dan penterjemahan buku-buku Yunani, disamping untuk biaya pertahanan dan
anggaran rutin pegawai.
Untuk
melindungi integritas uang logam dan kepercayaan umum, Harun ar-Rasyid
membangun kantor inspektur uang logam (nazir as-Sikkah) sehingga standar dinar
sangat tinggi kualitasnya.[8]
Khalifah harun al-Rasyid meninggalkan kekayaan negara dalam
kas waktu beliau meninggal sebanyak lebih dari 900.000 dirham. Kecakapan rasyid
dalam mengumukakan kas negara sama dengan kecakapan manshur, hanya rasyid lebih
banyak mengeluarkan di bandingkan dengan manshur, mungkin karena zaman yang
berbeda.
Kesimpulan
Masa ke-Khalifahan Bani Umayyah yaitu hanya berumur 90 tahun yaitu
dimulai pada masa kekuasaan Muawiyah bin Abu Sufyan Pemikiran Ekonomi Islam Bani Umayyah Pada masa pemerintahan
Bani Umayyah, kebijakan ekonomi banyak dibentuk berdasarkan ijtihad para fuqoha
dan ulama sebagai konsekuensi semakin jauhnya rentang waktu (lebih kurang satu
abad) antara zaman kehidupan Rasulullah saw dan masa pemerintahan tersebut.
Khalifah pemikir ekonomi pada masa Bani
Abbasiyah, yaitu Abu Ja’far Al-Manshur , Khalifah Abdul Malik ibn Marwan, dan
Umar Ibn Abdul Aziz.
Khalifah Abbasiyah atau Kekuasaan Dinasti
Bani Abbas, sebagaimana disebutkan melanjkan kekuasaan dinasti bani umayyah.
Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (
750 M) sampai dengan 656 H ( 1258 M). Selama Dinasti Bani Abbas berkuasa. Di
mana pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan
politik, sosial, dan budaya. di zaman Bani Abbasiyah, istilah jihbiz populer sebagai suatu profesi
penukaran uang. Pada zaman itu mulai diperkenalkan uang jenis baru yang disebut
fulus yang terbuat dari tembaga.
Khalifah-khalifah Pemikir Ekonom Islam pada
masa Bani Abbasiyah yaitu : Abu Ja’far Al-Manshur dan Harun al-Rasyid yang
telah banyak membawa perubahan besar dalam aspek ekonomi di masa pemerintahan
Bani Abbasiyah.
Saran
Dalam kebijakan ekonomi baik yang moneter maupu yang
fiskal pada masa pertengahan islam bayak mengalmi perubahan yang cukup tinngi
dan dapat membuat ekonomi islam menjadi makmur pada saat itu. Hendaknya systtem
ekonomi ekonmi yang berada di Indonesia ini dapat
[1] Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam: Sejak Zaman Nabi
Adam Hingga Abad XX, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003, cet 1, halm 187
[2]
Eus Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,
Depok: halm 43. Gramata Publising, 2010, halm 100-104
[3] Imaduddin, Umar bin Abdul Aziz: Perombak Wajah
Pemerintahan Islam, Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1992, cet I, halm 142-143
[4] Imaduddin, Umar bin Abdul Aziz: Perombak Wajah
Pemerintahan Islam, halm 126-146
[5] Umar Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah
Tinjauan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, cet I, halm 252
[6] Umar Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah
Tinjauan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, cet I, halm 296 dalam
catatan kaki no.101.
[8] Umar Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah
Tinjauan Islam, halm 176
semoga bermanfaat bagi orang yang membecanya dan menambah ilmu dari postingan kami yng sederhana ini dan bisa di bagikan kepada orang lain yagn belum mengetahuinya ...................maklum masih pemula menulis di blogspot
Tidak ada komentar:
Posting Komentar