hello guys, welcome to this blog. Hari ini saya ingin berbagi ilmu nih mengenai salah satu cabang dari qawaid fiqhiyyah yaitu: الضرر يزال
Qawa’id ini didasarkan pada Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu
Majah, Daru Quthni, Al-Hakim dan lainnya, yang bebunyi:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
Yang artinya: “Tidak boleh berbuat bahaya dan membalas perbuatan
bahaya kepada orang lain”
Sedangkan Ahmad bin Muhammad Al-Zarqa tidak hanya menjadikan hadits
ini sebagai dasar dari qa’idah di atas, bahkan menjadikan hadits ini sebagai
qa’idah tersendiri.
PEMBAHASAN
A.
Sumber Pengambilan Qa’idah
Qa’idah ini merupakan salah satu dari qa’idah yang yang sangat
substansial di dalam ilmu Fiqih. Banyak qa’idah-qa’idah kecil yang diturunkan darinya.
Dasar dari qa’idah ini adalah Al-Qur’an dan hadits Nabi.
·
Al-Qur’an
Ayat Al-Qur’an yang senafas dengan qa’idah di atas adalah surat
Al-Baqarah ayat 231yang berbunyi:
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ
فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَلا تُمْسِكُوهُنَّ
ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ وَلا
تَتَّخِذُوا آيَاتِ اللَّهِ هُزُوًا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
وَمَا أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُمْ بِهِ
وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Yang artinya: “Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu
mereka mendekati akhir idahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang makruf,
atau ceraikanlah mereka dengan cara yang makruf (pula). Janganlah kamu rujuki
mereka untuk memberi kemudaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya
mereka. Barang siapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat lalim
terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah sebagai
permainan. Dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan
Allah kepadamu yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan Al Hikmah (As Sunah). Allah
memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah
kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Ayat di atas walaupun secara eksplisit hanya menjelaskan tentang
aturan talaq, akan tetapi secara implisit melarang berbuat atau menyebabkan
bahaya kepada orang lain (istri)
·
Hadits
Hadits yang jalur dianggap valid dan menjadi dasar dari qa’idah ini
adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dar Abi Sa’id Al-Hudri, yang
berbunyi:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَار. مَنْ ضَارَّ
ضَارَّةُ اللهُ , وَ مَنْ شَاقَّ شَاقَّ اللهُ عَلَيْهِ
Yang artinya: “Tidak boleh berbuat bahaya dan membalas perbuatan
bahaya kepada orang lain. Bagi siapa yang berbuat bahaya kepada orang lain maka
Allah akan berbuat bahaya kepada orang tersebut, dan bagi siapa mempersulit
kepada orang lain maka Allah Akan mempersulit dia”
Potongan hadits tersebut juga terdapat dalam riwayat Imam Bukari
yang berbunyi:
وَ مَنْ شَاقَّ شَاقَّ اللهُ عَلَيْهِ يَومَ
القِيَامَةِ
Yang artinya: “bagi siapa mempersulit kepada orang lain maka Allah Akan
mempersulit dia di hari kiamat”.
B.
Definisi dan Pengertian
الضرر :
Berbuat kerusakan kepada orang lain secara mutlak ; mendatangkan kerusakan
tehadap orang lain dengan cara yang tidak diizinkan oleh agama.
Menurut Ibnu Atsir dalam kitabnya Al-Nihayah, لاَضَرَرَ
artinya adalah: الرَّجُلُ اَخَاهُلاَيَضُرُ (tidak diperbolehkan seseorang berbuat bahaya terhadap
saudaranya yang menyebabkan haknya menjadi berkurang).
Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitabnya Syarah
Al-Arba’in al-Nawawiyah mengatakan kata الضَرَرُ artinya bebuat
kerusakan kepada orang lain, sedangkan kata الضَرَار artinya berbuat kerusakan terhadap orang
lain dengan tujuan pembalasan yang tidak sesuai dengan aturan yang ditetapkan
oleh agama. Karena kata الضِرَارُ yang fi’il madinya ikut pada wazan فَاعَلَ berarti musyarakah (dua orang melakukan satu
pekerjaan)
Dari definisi di atas bisa disimpulkan bahwa seseorang tidak diperkenankan berbuat
bahaya terhadap orang lain dan membalasnya dengan perbuatan bahaya, jika
mendapat perlakuan bahaya.
Pada prinsipnya segala bentuk tindakan
membahayakan terhadap orang lain dapat tersentuh oleh hukum qa’idah ini. Ada
contoh yang telah diriwayatkan oleh para ahli hadits: “Ada seorang laki-laki
yang memiliki pohon di tanah orang lain, dan pemilik tanah merasa terganggu
dengan adanya pohon itu, lalu kejadian ini dilaporkan kepada Nabi. Nabi
memerintahkan kepada si pemilik tanah meminta ongkos kepada si pemilik pohon
atau ia merelakan pohon itu berada di tanahnya, tapi si pemilik tanah tidak
melakukan hal itu. Akhirnya Nabi mengizinkan kepada pemilik tanah untuk
memotong pohon tersebut. Setelah itu, Nabi berkata kepada pemilik pohon: “kamu
telah berbuat dharar (bahaya)”.
Bisa disimpulkan bahwa, baik Al-Qur’an
maupun hadits Rasulullah walaupun dalam konteks dan kasus berbeda, pada
dasarnya mengemban misi yang terkandung dalam qa’idah ini.
C.
Masalah Yang Berkaitan Dengan Qa’idah Ini
1. Hutang
Jika seseorang hutang makanan di Irak dan
penghutang menagih di Makkah, maka ia wajib membayar dengan dengan harga kapan
dan di mana ia hutang (Irak)
2. Khiyar
Pemberlakuan hukum khiyar dalam jual-beli
baik dilakukan penjual maupun pembeli adalah untuk menghindari adanya penipuan.
Dengan adanya peraturan ini pihak yang tertipu diperkenankan membatalkan
kembali transaksi dan meminta uangnya kembali.
3. Jaminan/Tanggung Jawab
Orang yang menipu wajib bertanggung jawab
kepada orang yang tertipu. Hal ini dapat terjadi dalam tiga hal:
·
Penipuan itu terjadi dalam transaksi tukar menukar (mu’awadhlah)
walaupun transaksi itu dianggap rusak, atau transaksi itu bukan terjadi pada
harta benda seperti nikah. Contoh: jika seseorang menjual harta orang lain
tanpa ijin, dan pemiliknya tidak mengijinkan, dan pembeli tidak mengetahui
kalau barang itu milik orang lain, sedangkan uang pembayaran itu telah
dihilangkan oleh si penjual. Maka ia wajib menggantikan uang yang
dihilangkannya tadi.
·
Penipuan terjadi pada saat serah terima yang
keuntungannya kembali kepada orang yang menyerahkan seperti pada akad wadi’ah
(titipan) dan ijarah (sewa). Contoh: Apabila barang titipan atau barang
yang disewakan rusak dan penyewa atau orang yang dititipi mengganti kerusakan
itu, maka ia boleh meminta uang pengganti kepada orang yang menitipkan atau
yang menyewakan.
·
Jaminan atau tanggung jawab orang yang menipu
berkaitan dengan keselamatan. Contoh: Seseorang berkata kepada orang lain,
“Berjalanlah di jalan ini tentu kmu akan selamat dan apabila kamu lewat jalan
ini dan barang kamu dicuri orang, saya yang bertanggung jawab”. Namun
kenyataannya lain, barang bawaannya dicuri orang, maka orang yang menyuruh tadi
wajib bertanggung jawab.
Menurut sebagian ulama tanggung jawab
terhadap tindakan penipuan tidak hanya terjadi pada tiga kasus itu saja. Karena
masih ada kasus-kasus lain yang tidak termasuk dengan tiga kasus di atas namun
dapat dimasukan dalam contoh qa’idah ini, seperti:
·
Jika ada orang meminjamkan tanah kepada orang lain
dalam jangka waktu untuk dibangun sebuah bangunan, atau ditanami sesuatu.
Namun, sebelum masa yang ditentukan pemberi pinjaman mencabut pinjamannya, maka
ia harus mengganti biaya pembangunan dan biaya tanaman yang telah dikeluarkan
oleh orang yang dipinjami.
·
Jika ada seseorang, memerintahkan kepada orang lain
untuk menggali lubang di sebelah rumahnya. Dia mengaku bahwa tempat di mana
lubang digali adalah miliknya. Ternyata tempat itu adalah milik orang lain,
maka pemilik boleh meminta kepada orang yang memerintahkan
Dari contoh-contoh di atas dapat
disimpulkan bahwa penipuan tidak hanya terjadi setelah adanya transaksi tapi
dapat juga terjadi pada saat transaksi seperti kedua contoh di atas.
D.Qaidah-qaidah
Furu’
الضرر
لا يزال بالضرر
“Suatu dlarar tidak boleh dihilangkan
dengan dlarar”
Maksud dari Qaidah ini adalah, sesuatu yang berbahaya tidak boleh
dihilangkan dengan suatu bahaya lain yang setingkat kadar bahayanya, atau yang
lebih besar kadar bahayanya.
Contoh Aplikasi Qaidah furu’ ini:
Seseorang yang terdesak dan terpepet, tidak boleh memakan makanan
orang lain yang sama saja dengan menghilangkan bahaya dengan cara menimbulkan
bahaya lain.
ازالة ضرر اعظم بار تكاب ضرر اخف
“Menghilangkan dlarar yang lebih besar dengan cara melakukan
dlarar yang lebih ringan”
Maksud dari Qaidah ini adalah, apabila sesuatu yang memiliki dampak
bahaya lebih kecil, daripada berbandingan dengan sesuatu yang memiliki dampak
bahaya lebih besar, maka diperbolehkannya melakukan sesuatu yang memiliki
dampak yang lebih kecil.
Contoh Aplikasi Qaidah furu’ ini:
Kalau dampak yang ditimbulkan oleh pemotongan anggota tubuh lebih
rendah daripada dampak yang ditimbulkan oleh karena kelaparan tersebut, maka
diperbolehkan melakukannya karena untuk memper-tahankan hidup yang memang
diperintahkan menjaga-nya.
الضرر الاشد يزال بالضرر الاخف
“Dlarar yang lebih besar
dihilangkan dengan dlarar yang lebih ringan”
Maksud dari Qaidah ini adalah, suatu
bahaya bisa saja dihilangkan dengan menimbulkan bahaya lain,jika kadar bahaya
yang ditimbulkannya tidak seimbang dan tidak lebih besar dari pada bahaya yang
dihilangkan.Oleh karenanya, seseorang yang hendak menghilangkan suatu bahaya, harus
memperhitungkan terlebih dahulu dampak yang akan ditimbulkannya.
Contoh Aplikasi Qaidah furu’ ini:
Qisash, sebab jika Qisash tidak
diterapkan, maka setiap orang akan merasa tidak takut melakukan pembunuhan dan
kriminalitas lainnya.
يحتمل الضرر الخاص لد فع ضرر عام
“Melakukan dlalar yang khusus untuk menolak dlalar yang umum”
Contoh aplikasi Qa’idah ini adalah :
Pencekalan terhadap dokter atau tabib gadungan. Hukum pencekalan
ini tentu dirasakan sangat berat bagi kedua orang yang berprofesi sebagai
pelayan jasa tersebut. Namun membiarkan orang-orang yang tidak memiliki latar
belakang kedokteran (medis) dan ketabiban menangani hal-hal yang berhubungan
dengan pengobatan adalah bahaya yang lebih besar, sebab bisa mengancam
keselamatan jiwa orang banyak. Demikian ini sama halnya dengan menyerahkan
urusan kepada orang yang bukan ahlinya. Maka untuk melindungi keematan jiwa
masyarakat, segala sesuatu yang bisa mengancamnya harus ditolak. Demikian pula
dokter dan tabib yang tidak memiliki keahlian dibidangnya.
ما ابيح للضرورة
يقدر بقدرها
“Sesuatu yang diperbolehkan karena darurat, maka disesuaikan
dengan kadar darurat tersebut”
Qa’idah ini dimaksudkan untuk memberi peringatan bahwa sesuatu yang
pada awalnya diharamkan, kemudian pada saat darurat diperbolehkan, hanyalah
apabila dilakukan secukupnya, yaitu cukup untuk menghilangkan dlalar yang
dialami.
Contoh aplikasi Qa’idah ini adalah :
Seseorang boleh melakukan tayamum jika tidak mungkin menggunakan
air. Apabila sudah memungkinkan maka hukum tayamum yang sudah ia lakukan
menjadi batal. Apabila ketidakmungkinan menggunakan air tersebut karena
penyakit, maka tayamum menjadi batal jika penyakit tersebut sudah hilang. Dan
kalau ketidakmungkinan tersebut karena tidak ada air, maka tayamum menjadi
batal jika air sudah ditemukan.
kesimpulan dari qawaid ini adalah memberikan penjelasan kepada
kita bahwa kita dilarang berbuat bahaya terhadap orang lain lain. Banyak sekali
ayat Al-Qur’an dan hadits Rasulullah yang menjadi dasar pemmbentukan qa’idah
ini. Pada qa’idah ini, kita juga ditegaskan bahwa kita bisa menghindari bahaya
atau dharar yang besar dengan dharar yang ringan dan kita juga
tidak diperbolehkan membalas dharar kepada orang lain, serta ketika ada tarik menarik anatara dhara dan kemaslahatan, maka mencegah dharar lebih diutamakan daripada menarik kemaslahatan
sumber:
sumber:
Abbas, Ahmad
Sudirman., Dr, MA, Qawa’id Fiqhiyyah Dalam Perspektif Fiqh, Abbas Press,
Depok, 2015
hidup toleran adalah kedamaian
BalasHapus